Thursday, June 11, 2015

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH



REVIEW DAN KRITIK BUKU

Judul Buku          : Manajemen Berbasis Sekolah
Pengarang Buku : Umaedi, Hadiyanto, Siswantari
Penerbit Buku     : Universitas Terbuka
Tahun Terbitan   : 2010

           
Disusun Oleh:
Nashibah
NPM: 112080072
Kelas : 1C















PRODI PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
2012/2013



RESENSI BUKU

1.      Judul Buku      : Manajemen Berbasis Sekolah
2.      Penulis Buku   : Umaedi, Hadiyanto, Siswantari
3.      Penerbit Buku : Universitas Terbuka
4.      Kota Terbit      : Jakarta
5.      Tahun Terbit    : 2010
6.      Tebal Buku      : 296 halaman
7.      ISBN               : 979-689-849-7
Resensi:
Setelah mempelajari mata kuliah MBS, Anda diharapkan dapat menjelaskan penerapan konsep MBS di sekolah. Secara khusus setelah mempelajari mata kuliah ini Anda diharapkan mampu menjelaskan hal-hal berikut:
1.      Fungsi pendidikan dikaitkan dengan perkembangan zaman.
2.      Model pendidikan dikaitkan dengan perkembangan zaman.
3.      Pendidikan nilai dikaitkan dengan MBS/disebarluaskan.
4.      Alasan perlunya MBS disebarluaskan.
5.      MBS sebagai kebijakan nasional.
6.      Pengertian dan karakteristik pemerintah sentralisasi dan desentralisasi.
7.      Kelebihan dan kelemahan pemerintah yang bersifat sentralisasi dan desentralisasi.
8.      Standar pelayanan minimal pengelolaan pendidikan.
9.      Peningkatan kemampuan personel pengelola sekolah dan tenaga kependidikan melalui berbagai training.
10.  Formulasi pendanaan pendidikan berbasis sekolah.
11.  Konsep dasar dan esensi dari MBS.
12.  MBS dan mutu pendidikan.
13.  Sekolah efektif dan MBS.
14.  MBS di beberapa Negara.
15.  Elemen pokok dalam MBS.
16.  Hubungan antarelemen penyelenggaraan penndidikan dalam sistem sisdiknas.
17.  Pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah.
18.  Langkah-langkah MBS.
19.  Pelaksanaan rintisan MBS di Indonesia.
Agar tujuan pembelajaran tersebut tercapai maka materi mata kuliah ini disusun ke dalam 6 modul dengan pembagian sebagai berikut.
Modul 1: Landasan Filosofis Manajemen Berbasis Sekolah.
Modul 2: Sentralisasi versus Desentralisasi.
Modul 3: Kebijakan Pemerintah untuk Menjamin Manajemen Berbasis Sekolah.
Modul 4: Desentralisasi pada Tingkat Pendidikan di Sekolah (Manajemen Berbasis Sekolah).
Modul 5: Model Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia.
Modul 6: Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia.

 







          

REVIEW


Modul 1
Landasan Filosofis Manajemen Berbasis Sekolah
Kegiatan Belajar 1
Keterkaitan Fungsi Pendidikan dengan Perkembangan Zaman
A.    Fungsi Pendidikan
Pendidikan berfungsi untuk mempersiapkan manusia menghadapi masa depan agar hidup lebih sejahtera, baik sebagai individu maupun secara kolektif sebagai masyarakat, bangsa maupun antarbangsa. (2010: 1.3)
Model pendidikan (dalam lingkup makro disebut sebagai sistem pendidikan) yang relevan adalah model pendidikan yang menghasilkan manusia yang dapat menyesuaikan diri/memenuhi kebutuhan tuntutan zaman sesuai dengan wilayah masyarakat dan peradabannya.(2010: 1.)
Pendidikan yang relevan dalam jangka pendek akan ketinggalan zaman untuk jangka panjang. Demikian pula yang relevan secara lokal, berpeluang tidak cocok dengan kebutuhan nasional. Jadi, yang relevan secara nasional belum tentu relevan dalam kompetensi global. (2010: 1.)
B.     Model Pendidikan yang diharapkan
Model yang tepat dalam pengelolaan pendidikan yang sesuai dengan alur pikir ini adalah School Based Management (SBM) atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Community Based Education (Pendidikan Berbasis Masyarakat). (2010: 1.5)

Kegiatan Belajar 2
Keterkaitan Pendidikan Nilai dengan MBS
A.    Pendidikan Nilai
Nilai-nilai spiritual dibutuhkan untuk menyempurnakan kesejahteraan manusia di dunia dan alam sesudahnya sehingga kehidupan menjadi lebih bermakna. (2010: 1.)
Manajemen berbasis sekolah dengan dukungan masyarakat berupaya memperkuat jati diri peserta didik dengan nilai-nilai sosial budaya setempat, mensinergikannya dengan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan serta nilai-nilai agama yang dianut. (2010: 1.)
Sesuai pasal 51 ayat (1) UU No.2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), MBS mencakup madrasah sebagai bentuk satuan pendidikan yang sejajar status dan perannya sehingga pembahasannya lebih lanjut dalam konteks Indonesia akan disebut manajemen berbasis sekolah/madrasah atau MBS/M.
B.     Mengapa MBS perlu diperkenalkan secara luas
Gagasan-gagasan berdasarkan hasil studi, baik di luar maupun di dalam negeri, tentang effective schools (sekolah efektif) yang hanya mungkin direalisasikan kalalu MBS diterapkan, serasa memperoleh peluang dalam suasana reformasi di bidang pendidikan dengan tema otonomi pedagogis sehingga turut mendorong diperkenalkannya MBS di Indonesia. (2010: 1.)
Sementara kalangan birokrat pendidikan yang berpikiran jernih melihat peluang ini sebagai harapan baru untuk melakukan efisiensi manajemen pendidikan dan sekaligus upaya peningkatan mutu. Hal ini karena sekolah (dengan perluasan kewenangannya) melalui MBS didorong untuk kompetitif dalam berbagai hal (termasuk mutu) dengan melibatkan peran serta masyarakat sebagai stakeholders utama dalam mempertanggungjawabkan hasil pendidikannya. (2010: 1.)
Mempertimbangkan hal itu, model MBS di Indonesia diperkenalkan dengan pendekatan fleksibel dan menyesuaikan diri dengan konteks Indonesia serta dirintis dengan nama manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS). (2010: 1.)

Kegiatan Belajar 3
UU Sisdiknas Sebagai Kebijakan di dalam Penyelengaraan dan Pengelolaan pendidikan
Prinsip MBS secara tegas dinyatakan dalam UU No.20/2003 sebagai prinsip dalam pengelolaan pendidikan baik untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, pasal 51 ayat (2) menyebutkan prinsip-prinsip yang diterapkan dalam pengelolaan pendidikan. (2010: 1.)
1.      Pertimbangan
“bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efesiansi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.” (2010: 1.)
2.      Pendidikan dan Pendidikan Nasional
“pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan  yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”. (2010: 1.)
Sementara pendidikan nasional dirumuskan sebagai berikut, “pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pacasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”. (2010: 1.)
Disamping itu, pendidikan nasional adalah sesuatu yang dinamis (tanggap terhadap perubahan zaman), serta mengakui keanekaragaman budaya masyarakat Indonesia. (2010: 1.)
3.      Definisi Kurikulum
“Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggara kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. (2010: 1.)
4.      Rumusan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
“Dewan Pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan”. (2010: 1.)
“Komite Sekolah/Madrasah, adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan”. (2010: 1.)
5.      Prinsip Penyelenggaraan Sekolah
Pada undang-undang sebelumnya, prinsip nondiskriminatif hanya dicantumkan dalam konteks penerimaan siswa, sementara dalam undang-undang ini dalam konteks penyelenggaraan pendidikan yang lebih luas. (2010: 1.)
6.      Wajib Belajar
Juga ada penegasan bahwa wajib belajar diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah minimal jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya dari peserta didik (pasal 34 ayat [2]). (2010: 1.)
7.      Standar Nasional
“Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala”. (2010: 1.)
“Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan”. (2010: 1.)
8.      Kurikulum
Ditegaskan lebih lanjut bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat a) pendidikan agama, b) pendidikan kewarganegaraan, c) bahasa, d) matematika, e) ilmu pengetahuan alam, f) ilmu pengetahuan sosial, g) seni dan budaya, h) pendidikan jasmani dan olahraga, i) keterampilan/kejuruan, dan j) muatan lokal (pasal 37 ayat [1]). (2010: 1.)
9.      Pendanaan Pendidikan
Pada pasal 48 ayat (1) disebutkan bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. (2010: 1.)
10.  Pengelolaan Pendidikan
Butir-butir penting yang patut diperhatikan diantaranya adalah berikut ini.
a.       Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional (Pasal 50 ayat [2]).
b.      Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk meningkatkan pendidikan dasar dan menengah (Pasal 50 ayat [4]). (2010: 1.)
11.  Peran Serta Masyarakat
a.       Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal, sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat (Pasal 55 ayat [1]).
b.      Penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan (Pasal 55 ayat [2]). (2010: 1.)
12.  Evaluasi, Akreditasi, dan Sertifikasi
Butir-butir ketentuan penting mengenai ketiga hal tersebut, antara lain sebagai berikut.
a.       Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 57 ayat [1]).
b.      Evaluasi dilakukan pada peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan (Pasal 57 ayat [2]).

Modul 2
Sentralisasi versus Desentralisasi
Kegiatan Belajar 1
A.    Latar Belakang Desentralisasi
Ketidakberhasilan pemerintah Orde Baru mengatasi krisis ekonomi tahun 1997-1998 menimbulkan efek berantai yang berwujud ketidakpuasan masyarakat terhadap hampir semua kebijakan, tatanan pemerintahan, dan hasil-hasil karya pembangunan yang telah dilakukan pemerintah Orde Baru dengan susah payah selama lebih kurang 32 tahun. (2010: 2.)
Dalam wacana yang lebih konkret, diperlukan perubahan sistem kekuasaan yang tidak terpusat pada satu orang atau lembaga, penguatan lembaga legislatif sebagai cermin kedaulatan rakyat, dan kemerdekaan lembaga yudikatif untuk menjaga obyektivitas dan keadilan bagi setiap warga negara. (2010: 2.)
Sejalan dengan dorongan/kecenderungan untuk mengurangi kekuasaan dan kewenangan yang terpusat atau pemusatan kekuasaan yang biasa disebut sentralisasi maka gerakan desentralisasi sangat menguat. Semangat ini menguat karena pengalaman masa pemerintahan Orde Baru yang dinilai terlalu sentralistik sehingga aspirasi daerah yang beragam kurang terakomodasi dengan baik. (2010: 2.)
Desakan untuk menerapkan desentralisasi pemerintah mencapai titik puncak dengan diputuskannya Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998, antara lain mengamanatkan penyelenggaraan pemerintah daerah dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah secara nyata dan bertanggung jawab. (2010: 2.)
B.     Pengertian Sentralisasi dan Desentralisasi
Pertama, dekonsentrasi, yaitu penyerahan sejumlah kewenangan administrasi atau tanggung jawab dari suatu kementrian kepada tingkat dibawahnya sehingga beban kerja pejabat pusat berpindah ke luar kantor pusat atau daerah dan dilaksanakan sesuai kondisi, tetapi tetap berpedoman pada petunjuk pusat. (2010: 2.)
Kedua, delegasi, yaitu penyerahan tanggung jawab pengelolaan (managerial) hanya untuk fungsi-fungsi khusus tertentu. (2010: 2.)
Ketiga, devolusi, di dalamnya terkandung pengertian mewujudkan unit mandiri di bawah struktur organisasi pusat yang secara hukum maupun keuangan berstatus otonom dan independen. (2010: 2.)
Keempat, privatisasi, yang merupakan penyerahan kewenangan dan tanggung jawab secara penuh, yang biasa dilakukan kepada perusahaan swasta atau individu dan mungkin juga kepada lembaga swadaya masyarakat. (2010: 2.)
Berdasarkan diskusi dan contoh sebelumnya maka untuk tidak semakin mengaburkan persepsi, ada beberapa hal penting yang dapat disarikan. Pertama, sentralisasi atau desentralisasi dilihat dari segi formalitas kekuasaan dan kewenangan untuk mengambil keputusan (legitimate power and authorities to make decision). Kedua, di dalam proses kerja (kenyataan praktek) organisasi, dapat terjadi penyimpangan oleh staf (bukan dalam arti “negatif”) sehingga mengurangi karakter sentralisasi (konsentrasi kekuasaan untuk mengambil keputusan pada orang lain) maka organisasi tersebut berubah karakternya menjadi lebih desentralistik. Ketiga, pengertian sentralisasi-desentralisasi bersifat nisbi/relatif atau tidak absolute (mutlak). (2010: 2.)

Kegiatan Belajar 2
A.    Kelebihan dan Kelemahan Sentralisasi dan Desentralisasi
Desentralisasi, diakui dapat merespons perubahan yang terjadi sesuai dengan kondisi setempat (lokal) secara cepat dan lebih tepat. (2010: 2.)
Di sini perlu diberi catatan tambahan bahwa dalam sentralisasi, keputusan yang diambil berlaku untuk seluruh organisasi (sampai unit-unit terkecil). Sebaliknya, desentralisasi dianggap mampu merespons masalah-masalah spesifik dan sesuai kebutuhan setempat secara lebih cepat. (2010: 2.)
B.     Desentralisasi dan Kebijakan Pendidikan
Desentralisasi pemerintahan merupakan salah satu tonggak penting di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dari model berpikir (paradigma) lama penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik ke arah pemberian otonomi yang luas dan nyata kepada daerah (desentralisasi yang riil atau nyata). (2010: 2.)
Permasalahan pendidikan dalam kaitannya dengan desentralisasi tidak makin sederhana dengan ke luarnya UU tentang pemerintahan daerah karena di bidang pendidikan sendiri masih ada UU tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang proses pengesahannya sendiri berjalan cukup alot dan mendapat respons pro-kontra yang cukup besar. (2010: 2.)
Didalam hal ini, Mendiknas sebagai bagian dari Pemerintah (ingat bahwa Pemerintah adalah Presiden bersama para menterinya) dapat membuat kebijakan teknis kependidikan yang lebih jelas dan operasional dan memasukkannya ke dalam Propenas (Program Pembangunan Nasional), sebagai jabaran dari kewenangan “membuat kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro”. (2010: 2.)
C.     MBS dan Konsep Desentralisasi
Berdasarkan kajian pengalaman MBS yang dipraktikkan di beberapa Negara, didapati ciri-ciri desentralisasi yang diberikan oleh penguasa kepada pusat kepada level sekolah dalam  bentuk pemberian wewenang untuk mengambil keputusan. (2010: 2.)
Oleh karena dasar-dasar pemikiran MBS, secara teoretik sejalan dengan konsep desentralisasi maka alasan-alasan dan keuntungan desentralisasi sebagian besar menjadi alasan dan argumentasi akan perlunya MBS. (2010: 2.)

Modul 3
Kebijakan Pemerintah Untuk Menjamin Manajemen Berbasis Sekolah
Kegiatan Belajar 1
Standar Pelayanan Minimal Pengelolaan Pendidikan
A.    Tujuan Penyelenggaraan (Sekolah Menengah Pertama)
Sekolah Menengah Pertama (SMP) bertujuan memberikan kemampuan dasar yang merupakan perluasan serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh di SD, untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan warga negara sesuai dengan perkembangannya serta mempersiapkan siswa untuk hidup dalam masyarakat dan/atau mengikuti pendidikan menengah. (2010: 3.)
B.     Standar Kompetensi Siswa
Standar kompetensi siswa berisi tentang kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh siswa. (2010: 3.)
C.     Kurikulum
Kurikulum merupakan rancangan kegiatan dan pengalaman yang akan diberikan sekolah kepada siswa. Oleh karena itu, kurikulum memuat (1) Susunan Program Pengajaran, yaitu mata pelajaran yang akan diajarkan sekolah kepada siswa, (2) Materi Pengajaran, (3) Strategi Belajar Mengajar, (4) Bahasa Siswa, (5) Penilaian, dan (6) Bimbingan Belajar. (2010: 3.)
D.    Anak Didik
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal anak didik ini diantaranya adalah (1) Daya tampung siswa, (2) Persyaratan sebagai siswa, (3) Pakaian Siswa, (4) Unit Kegiatan Siswa. (2010: 3.)
E.     Ketenagaan
Ketenagaan di sekolah mencakup jenis tenaga yang minimal harus ada di sekolah, seperti kepala sekolah, wakil kepala sekolah, urusan tata usaha, guru mata pelajaran, guru pembimbing, laboran, pustakawan. (2010: 3.)
F.      Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana sekolah yang harus menjadi pertimbangan minimal dalam penyelenggaraan sekolah adalah berkaitan dengan lahan dan ruang, seperti ruang pendidikan dan pengajaran (kelas, laboratorium, ruang kesenian), ruang administrasi, ruang penunjang (ibadah, koperasi, OSIS, Serba Guna), perabot, alat dan media pendidikan, serta ketersediaan buku pelajaran dan bacaan. (2010: 3.)
G.    Organisasi
Sekolah dipersyaratkan mempunyai susunan organisasi, misalnya untuk SMP terdiri atas kepala sekolah, wakil kepala sekolah, urusan tata usaha sekolah, unit laboratorium, unit perpustakaan, dewan guru. (2010: 3.)
H.    Pembiayaan
1.      Sumber Pembiayaan
Pembiayaan penyelenggaraan pendidikan dapat bersumber dari:
a.       Pemerintah daerah, yang menyediakan anggaran bagi SMP negeri dan swasta;
b.      Dana masyarakat termasuk dana dari orang tua/masyarakat/dunia usaha diupayakan untuk membiayai peningkatan mutu program pengayaan dan program khusus yang disepakati orang tua;
c.       Sumber lainnya, misalnya hibah, pinjaman sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (2010: 3.)
2.      Komponen Pembiayaan
Komponen yang perlu dibiayai, antara lain berikut ini.
a.       Kegiatan teknis edukatif untuk proses belajar mengajar (kurikuler dan kegiatan evaluasi belajar).
b.      Kegiatan penunjang untuk operasionalisasi ruang belajar dan kegiatan ekstrakurikuler.
c.       Perawatan sarana pendidikan (gedung, perabot, alat peraga, dan media).
d.      Perawatan kegiatan penunjang (lingkungan sekolah).
e.       Kesejahteraan guru dan pegawai sekolah (gaji kelebihan jam mengajar, insentif, perjalanan).
f.       Langganan daya dan jasa (listrik, telepon, air, dan lain-lain).
g.      Program khusus yang mengacu pada kegiatan peningkatan mutu sekolah yang bersangkutan. (2010: 3.)
3.      Satuan Pembiayaan
Satuan biaya dapat dihitung berdasarkan satuan biaya satuan tetap (fixed cost) pada satuan sekolah per tahun dengan standar biaya yang sama dan biaya satuan tidak tetap (variable cost) yang dihitung berdasarkan jumlah siswa, lokasi sekolah dan program kegiatan sekolah sesuai dengan jenis dan komponen pembiayaan yang relevan. (2010: 3.)
4.      Penentuan Pembiayaan
Penentuan biaya yang dibebankan pada masyarakat/orang tua ditentukan berdasarkan persetujuan pemerintah daerah atas usul dari kepala sekolah bersama Badan Peran Serta Masyarakat/Komite Sekolah/BP3. (2010: 3.)
5.      Pengelolaan Pembiayaan
Pengelolaan pembiayaan pendidikan dilakukan secara transparan dan dipertanggungjawabkan penggunaannya setiap tahun kepada badan peran serta masyarakat (komite sekolah/BP3/dewan sekolah dan pemerintah daerah). (2010: 3.)
6.      Rencana Anggaran Penerimaan Dan Belanja Sekolah (RAPBS)
Setiap tahun pendidikan wajib menyusun RAPBS. Dalam penyusunan RAPBS melibatkan stakeholders (BP3, tokoh masyarakat dan semua pihak yang berkepentingan terhadap sekolah). Sumber-sumber pembiayaan sifatnya transparan dan akuntabilitas. (2010: 3.)
7.      Pemeriksaan Pembiayaan (Auditing)
Setiap pemasukan dan pengeluaran agar diaudit secara tertib dan teratur. (2010: 3.)
8.      Pelaporan
Setiap pelaporan dilaksanakan secara tertib dan teratur. (2010: 3.)
I.       Peran Serta Masyarakat
Pada setiap sekolah dapat dibentuk organisasi, seperti Badan Peran Serta Masyarakat/Komite Sekolah/BP3 atau organisasi lain yang mempunyai tujuan sebagai berikut.
1.      Membantu kelancaran penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
2.      Memelihara, meningkatkan, dan mengembangkan sekolah.
3.      Memantau, mengawasi, dan mengevaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah. (2010: 3.)
J.       Manajemen Sekolah
Setiap SMP menerapkan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Dalam sistem ini kepala sekolah bersama dewan guru dan warga belajar lainnya secara mandiri, transparan, serta bertanggung jawab belajar melaksanakan program sekolah untuk mencapai visi, misi, dan target mutu yang diamanatkan oleh masyarakat dan semua pihak yang berkepentingan terhadap pendidikan di sekolah yang bersangkutan (stakeholders pendidikan). (2010: 3.)
K.    Indikator Kebersihan
Matriks Indikator Keberhasilan Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Penyelenggaraan Sekolah Menengah Pertama

No.
Komponen SPM
Indikator
Ketercapaian Minimal
Kewenangan
P
PR
K
S
1.
Kurikulum
Ketersediaan kurikulum nasional
Ada



Tersebarnya kurikulum lokal
Ada

Keterlaksanaan kurikulum nasional
Sesuai



Keterlaksanaan kurikulum lokal
Sesuai



% daya serap kurikulum nasional
75%






Persentase daya serap kurikulum lokal
80%
2.
Anak Didik
Angka Partisipasi Kasar (APK)
Meningkat



Angka Partisipasi Murni (APM)
Meningkat
Angka Pendaftaran Siswa
Meningkat
Angka Putus Sekolah (APS)
Menurun


Angka Mengulang Kelas (AMK)
Menurun


Kelangsungan Belajar (Survival Rate)
Meningkat


Persentase Kelulusan
90%



3.
Ketenagaan
Kinerja Kepala Sekolah
Baik

Persentase Guru Berkualifikasi
60%

Persentase Guru Berkeahlian
60%


Rasio Guru dengan Siswa
1:28


4.
Sarana dan Prasarana
Lahan
Cukup


Bangunan
Lengkap


Perabot
Lengkap


Peralatan/Lab./Media





Rasio Buku Teks dengan Siswa
1:02


Sarana Olahraga
Lengkap


Infrastruktur
Lengkap


5.
Organisasi
Struktur Organisasi
Ada



Personalia
Ada



Uraian Tugas
Ada



Mekanisme Kerja
Baik/Lancar



6.
Pembiayaan
Anggaran Pemerintah
Ada
Anggaran Swadaya
Ada


Komponen yang Dibiayai
Seluruhnya

7.
Manajemen Sekolah
Pemahaman Visi dan Misi Sekolah
Baik



Tingkat Kehadiran Guru
90%



Tingkat Kehadiran Tenaga Administrasi
90%



Tingkat Kehadiran Tenaga Lainnya
90%



Tingkat Kehadiran Siswa
90%



Tertib Administrasi
Lengkap



Kinerja Sekolah
Baik



8.
Peran Serta Masyarakat
Peran Serta
Masyarakat/Komite/BP3
Ada



Perhatian Orang Tua
Ada



Perhatian Tokoh Masyarakat
Ada


Peran Serta Dunia Usaha
Ada


Keterangan:
P    = Pemerintah Pusat
PR = Pemerintah Provinsi
K   = Pemerintah Kabupaten/Kota
S    = Sekolah (2010: 3.)

Kegiatan Belajar 2
Mempersiapkan Komponen Pendukung Manajemen Berbasis Sekolah
A.    Peningkatan kemampuan personel
1.      Training-Workshop Manajemen pola MDS
Penerapan MBS memerlukan praktik kepemimpinan kolektif, kolaboratif, dan partisipatif. (2010: 3.)
Pada umumnya training berisi dasar-dasar konsep MBS, dasar-dasar kebijakan/hukum, pengalaman praktik, dan model pelaksanaan MBS dalam kerangka Sisdiknas yang berorientasi pada mutu. Workshop-training ini dapat dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi atau kabupaten/kota. (2010: 3.)
2.      Training kemampuan profesional guru/tenaga kependidikan
Kompetensi, merupakan bagian penting dalam pelaksamaan MBS. Dalam hubungan ini training KBK hendaknya terintegrasi (terkoordinasi). Demikian pula training program Life Skills, dan “pendekatan kontekstual” atau contextual learning (CTL) yang merupakan implikasi MBS, dalam hal pembelajaran perlu dilatihkan sekaligus. (2010: 3.)
Dalam pelatihan guru, ada dua kategori, yaitu yang bersifat remedial (memperbaiki kelemahan guru terutama dalam penguasaan substansi/materi) dan pelatihan yang bersifat fine-tuning atau penyegaran yang bertujuan memperkenalkan model-model pembelajaran baru dan inovasi lainnya. (2010: 3.)
Oleh karena itu, training untuk guru ke depan harus bersifat Competence Based Training atau pelatihan yang berbasis kompetensi. Selesai pelatihan mereka harus benar-benar dapat melaksanakan tugas secara profesional dan mandiri. (2010: 3.)
3.      Training-workshop bagi kelompok kerja pengembang dan pendamping MBS
Idealnya, setiap provinsi dan kabupaten/kota memiliki Kelompok Kerja Tetap “Pengembang dan Pendamping” pelaksanaan MBS dan program-program terkait lainnya. Tugas mereka yang utama adalah merintis MBS bagi sekolah yang baru akan mulai menerapkan, dan memberi asistensi atau pendampingan bagi yang sudah mulai melaksanakan MBS, disamping memonitor perkembangan/kemajuan MBS di wilayah kerjanya. (2010: 3.)
B.     Pendanaan pendidikan berbasis sekolah
Pengalokasian anggaran langsung ke sekolah merupakan bagian penting dari penerapan MBS, bahkan di negara-negara lain penanaman MBS atau School Based Management banyak diberi ciri khusus dengan nama yang bersifat financial, seperti Financial Delegation, Grant Maintained Schools and Lokal management, Financial Delegation and Localized management, dan Local Budgeting and Community Involvement (Umaedi, 2004). (2010: 3.)
1.      Landasan Hukum
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai pendanaan Pendidikan diatur dalam Bab III, pasal 46, 48, 49, masing-masing pasal berturut-turut mengatur tentang Tanggung jawab Pendanaan, dan Pengalokasian Dana Pendidikan. (2010: 3.)
2.      Formula Pendanaan Sekolah
Mengacu pada prinsip yang dikemukakan sebelumnya, ada dua prinsip, yaitu kecukupan dan keadilan yang perlu memperoleh perhatian.
a.       Prinsip Kecukupan
Untuk menjamin prinsip kecukupan dalam pendanaan sekolah perlu dilakukan perhitungan satuan biaya per anak untuk setiap bentuk satuan, jenjang dan jenis sekolah. (2010: 3.)
Berdasarkan biaya satuan untuk SD per anak tersebut Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menghitung biaya pendidikan untuk SD dengan cara mengalikan jumlah seluruh siswa SD di wilayahnya kali biaya per anak. (2010: 3.)
Pendanaan sekolah dengan block grant atau hibah layak (seperti pesan UU No. 20 Tahun 2003) yang dihitung berdasarkan jumlah siswa kali biaya per siswa tampaknya sudah baik, tetapi kalau diteliti lebih jauh belum memenuhi prinsip keadilan. Sekolah yang kaya (kategori baik), sedang dan kurang (miskin) diperlakukan sama, padahal kebutuhannya berbeda. (2010: 3.)
b.      Prinsip Keadilan
Untuk memastikan bahwa setiap murid memperoleh layanan pendidikan yang layak maka disamping satuan biaya per siswa/murid dihitung secara layak, perlu memerhatikan unsur-unsur penentu atau variabel yang merupakan ciri sasaran perhitungan. Unsur-unsur penentu yang menjadi pertimbangan, antara lain sebagai berikut.
1)      Jenis dan bentuk satuan dan jenjang pendidikan, seperti TK/RA, SD/MI, SLTP/MTs, SMU/MA, SMK/MAK, serta SLB/MLB, yang masing-masing memiliki karakteristik keperluan pendanaan yang berbeda, baik karena tuntutan kurikulum maupun karakteristik muridnya. (2010: 3.)
2)      Pada setiap bentuk satuan, jenjang dan jenis yang sama, terdapat perbedaan:
a)      Sekolah besar dan kecil dari segi jumlah muridnya, yang menyebabkan kebutuhan pendanaan yang berbeda.
b)      Sekolah yang kaya dan miskin, baik karena dukungan masyarakat (murid-muridnya dari kalangan yang sosial-ekonominya kuat) atau sebaliknya. Anak-anak keluarga miskin jangan sampai terlalu dirugikan layanan pendidikannya di sekolah. (2010: 3.)
Kategori sekolah kaya dan miskin dapat diperhalus menjadi tiga kategori, yaitu kuat, sedang, dan lemah yang disebabkan oleh lingkungan (status sosial ekonomi masyarakat pendukungnya) masyarakatnya. (2010: 3.)
3)      Biaya minimal atau biaya tetap (fix-cost)
Biaya minimal perlu ditetapkan sesuai syarat pendirian sekolah dan tuntutan kurikulum.
Sampai batas jumlah siswa tertentu, sekolah diberi biaya minimal yang dapat untuk membiayai proses pembelajaran dan keperluan operasional lainnya (gaji tenaga dan biaya operasional). (2010: 3.)
Singkatnya, biaya minimal per sekolah adalah dana minimal yang harus dialokasikan ke sekolah berdasarkan kebutuhan minimal agar pengelolaan sekolah dapat berjalan semestinya, tanpa memperhitungkan jumlah murid pada sekolah tersebut. Biaya ini tidak dapat dikurangi karena kalau dikurangi akan mengganggu proses pembelajaran. Alokasi dana untuk biaya minimal sama untuk semua sekolah yang bentuk satuan, jenis dan jenjangnya sama, sampai jumlah murid yang ditentukan. (2010: 3.)
4)      Kombinasi banyaknya murid dan status sosial ekonomi
Pada bahasan tentang pendanaan minimal berdasarkan pembiayaan minimal sampai jumlah murid yang ditentukan, telah disinggung perhitungan biaya tambahan berdasarkan banyaknya murid di atas  jumlah yang ditentukan. Namun, perhitungan biaya tambahan tersebut tidak dapat disamaratakan, mengingat ada sekolah yang secara sosial-ekonomi kuat, ada sekolah yang sedang, dan ada yang lemah. Sedangkan yang lemah harus diberi dana per murid lebih besar dari pada yang sedang, dan perhitungan tambahan biaya per murid pada sekolah yang sedang harus lebih besar dari pada yang kuat. Kalau dibuat sederhana menjadi 3 kategori tersebut, dan disepakati rasio antara lemah, sedang, dan kuat 4 : 2 : 1 atau dengan indeks pengali 1:0,5:0,25 maka besarnya tambahan biaya bagi sekolah dari jumlah standar, akan sama dengan banyaknya murid tambahan kali indeks kategori kali satuan biaya per murid. (2010: 3.)
3.      Bantuan Pendanaan bagi Sekolah Swasta (Dikelola oleh Masyarakat)
Kalau diteliti kembali pesan Pasal 55, ayat (3) dan (4), terdapat dua hal penting, yaitu pertama, dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat berasal dari antara lain Pemerintah dan Pemerintah Daerah, kedua bahwa lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh subsidi dana dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah. (2010: 3.)
4.      Kebijakan Makro dan Mezzo Pendanaan Berbasis Sekolah
Secara makro (nasional), orang sulit menemukan besarnya pendanaan pendidikan untuk sekolah seluruh Indonesia. Hal ini terutama karena pendanaan pendidikan digunakan oleh beberapa departemen yang menyelenggarakan dan mengelola pendidikan. (2010: 3.)
Dengan uraian tersebut, sekarang terasa bahwa dalam hal pendanaan sekolah, sangat tergantung dari bagaimana sikap Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Bolanya ada pada  kebijakan makro (pusat) dan mezzo (pemerintah daerah). (2010: 3.)
C.     Rerorientasi Kepengawasan Sekolah, Lembaga Training Guru dan Tenaga Kependidikan serta Pengaturan Sarana dan Monitoring
1.      Kepengawasan
Dalam pola MBS, hak guru dan tenaga kependidikan sebagai profesional mandiri sangat ditekankan. Oleh karena itu, fungsi pengawasan sekolah kalau akan diefektifkan untuk membantu profesionalisme guru dan tenaga kependidikan dalam praktik, perlu dirumuskan. (2010: 3.)
2.      Lembaga Pelatihan Guru dan Tenaga Kependidikan
Meskipun ada lembaga-lembaga yang tugas pokoknya melaksanakan pelatihan, tetapi sekolah yang melaksanakan MBS memiliki kebebasan untuk memilih lembaga/instansi mana tempat mereka “membeli” pelatihan yang sesuai kebutuhan mereka, bahkan lembaga swasta sekalipun. Sekolah juga melakukan kerjasama dengan instansi mana pun yang mereka piih dalam rangka staff development. (2010: 3.)
3.      Pengaturan Kembali Kebijakan Pengadaan Penyediaan Sarana dan Prasarana Pendidikan
Pengadaan/pengediaan sarana dan prasarana pendidikan yang semula dilakukan secara terkonsentrasi baik di pusat maupun di daerah perlu diatur ulang. Jenis-jenis sarana dan prasarana yang pengadaannya dapat dilakukan oleh sekolah perlu diserahkan tanggung jawabnya kepada sekolah. Bersama komite sekolah, mereka dapat merencanakan kebutuhan, menilai dan mengadakan sarana pendidikan sesuai kebutuhan masing-masing, menggunakan dana hibah (yang masuk anggaran sekolah) yang diterimanya. (2010: 3.)
4.      Monitoring dan Evaluasi MBS
Pengelolaan Ketenagaan, Sarana dan Prasarana dalam kaitannya dengan manajemen berbasis sekolah perlu dimonitor dan dievaluasi. Sejauh mana elemen-elemen tersebut diterapkan secara fungsional saling memperkuat dan mendukung sehingga memberi dampak efektivitas, efisien, transparansi, dan akuntabilitas layanan pendidikan. (2010: 3.)

Modul 4
Desentralisasi Pada Tingkat Pendidikan Di Sekolah (Manajemen Berbasis Sekolah)
Kegiatan Belajar 1
A.    Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah
Istilah Manajemen Berbasis Sekolah yang merupakan terjemahan dari istilah berbahasa Inggris School-Based Management diambil dari beberapa istilah yang cukup bervariasi, seperti Self-Managing School, Site-Based Management, Collaborative School Management atau Community-Based School Management. (2010: 4.)
1.      Definisi Umum Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen berbasis sekolah adalah sekolah yang berdasarkan penelitian, komitmen, sistem tertentu, dan pengoperasian sekolah dari suatu distrik/wilayah memakai metode sentralisasi dengan parameter (batasan-batasan yang jelas) dan peran staf yang dipahami oleh mereka yang terlibat, untuk memaksimalkan efektivitas penggunaan sumber daya. (2010: 4.)
2.      Manajemen Berbasis Sekolah dalam Undang-Undang Sisdiknas
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 51, ayat (1) disebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. (2010: 4.)
Penjelasan Pasal 51, ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan. (2010: 4.)
B.     Tujuan manajemen berbasis sekolah
Baik berdasarkan kajian pelaksanaan di negara-negara lain maupun yang tersurat dan tersirat dalam kebijakan pemerintah dan Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, serta aspirasi masyarakat yang berkembang setidaknya ada empat aspek yang tercakup sebagai tujuan dari MBS, yaitu kualitas (mutu) dan relevansi, keadilan, efektivitas dan efisiensi, serta akuntabilitas. (2010: 4.)

Kegiatan Belajar 2
Manajemen Berbasis Sekolah dan Mutu Pendidikan
A.    Mutu Pendidikan
1.      Mutu dalam Pengertian Absolute
Dalam pengertian ini, mutu dianggap sesuatu yang ideal, seolah esensi dari kebaikan, keindahan, kebenaran, “tiada tanding”, “tiada tanding” atau “tidak ada duanya”. Segalanya lebih dari yang lain. (2010: 4.)
2.      Mutu dalam Pengertian Relative
Mutu dalam pengertian ini bukanlah suatu sebutan untuk suatu produk atau jasa, tetapi pernyataan bahwa suatu produk atau jasa telah memenuhi persyaratan atau kriteria atau spesifikasi yang ditetapkan (standar). (2010: 4.)
3.      Mutu menurut Definisi Konsumen
Organisasi atau lembaga-lembaga (termasuk sekolah) yang mengikuti pendekatan Total Quality Management atau TQM beranggapan bahwa “kualitas ditentukan oleh konsumen”. (2010: 4.)
B.     Implikasi Konsep Mutu Dalam Pendidikan
Di Indonesia dikenal adanya sekolah-sekolah unggulan (sebagai nama “generic”, bukan nama diri suatu sekolah) baik yang diprakarsai oleh pemerintah (termasuk pemerintah provinsi/kabupaten/kota) maupun yang tumbuh atas prakarsa masyarakat termasuk dunia usaha. (2010: 4.)
C.     Manajemen Berbasis Sekolah dan Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan
Dalam hubungan ini, Umaedi (2004) berpendapat bahwa MBS sangat penting dilihat dari kacamata pengelolaan sekolah sebagai kerangka (garis besar) manajemen yang memenuhi tuntutan akuntabilitas publik, transparan/terbuka, demokratik, dan partisipatif, sedangkan strategi operasional untuk meningkatkan mutu, perlu penerapan model sekolah efektif serta nilai-nilai manajemen mutu terpadu. Dalam upaya itu, ada dua tataran konsep yang dapat dilakukan. Pertama, MBS sebagai kerangka dasar (prasyarat) yang harus dipenuhi elemen-elemen pokoknya. Kedua, strategi operasional peningkatan mutu yang dalam hal ini digunakan model sekolah efektif serta sebagian elemen atau nilai-nilai dari manajemen mutu terpadu. Strategi operasional adalah seni atau kiat merencanakan dan mengarahkan suatu program dan melaksanakannya sesuai fokus diharapkan dengan berdasarkan misi organisasi yang bersangkutan. Pendekatan yang memadukan kedua tataran konsep tersebut dalam buku ini disebut Manajemen Mutu Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2002). Jadi, MBS saja belum cukup sebagai garansi mutu. Kalau akan memperbaiki mutu, perlu sentuhan manajemen mutu meskipun diketahui bahwa semua model manajemen selalu bertujuan untuk mencapai efektivitas dan efisiensi. (2010: 4.)

Kegiatan belajar 3
Sekolah Efektif
A.    Sekolah Efektif dan MBS
1.      Fungsi Sekolah
a.       Fungsi teknis/ekonomi
b.      Fungsi manusiawi/sosial
c.       Fungsi politik
d.      Fungsi budaya
e.       Fungsi pendidikan
f.       Fungsi spiritual (2010: 4.)
2.      Pendekatan/kriteria Sekolah Efektif
a.       Goal-attainment approach
b.      System approach atau pendekatan sistem
c.       Strategic constituencies approach atau pendekatan konstituen strategis
d.      Competing values approach atau pendekatan persaingan nilai (2010: 4.)
3.      Studi tentang Sekolah Efektif
Setelah mengamati dan membandingkan beberapa rumusan yang diteliti oleh para tokoh model sekolah efektif, Umaedi (2004) memilih delapan karakteristik umum, yang diharapkan dapat diterapkan di Indonesia atau dapat dijadikan strategi atau model yang efektif sejalan dengan pendekatan manajemen berbasis sekolah, yaitu sebagai berikut.
a.       Lingkungan sekolah yang aman dan tertib (safe and orderly environment).
b.      Perumusan visi, misi, dan target mutu yang jelas (clear vision and mission).
c.       Kepemimpinan sekolah yang kuat (strong instructional leadership).
d.      Harapan prestasi yang tinggi (high expectation on student achievement).
e.       Pengembangan staf sekolah secara terus-menerus (school staff development).
f.       Evaluasi belajar untuk penyempurnaan proses belajar mengajar (Frequent monitoring and evaluation of student progress).
g.      Komunikasi dan dukungan orang tua dan masyarakat yang efektif (Effective school-community/parent community and support).
h.      Komitmen seluruh warga sekolah akan pentingnya peningkatan mutu. (2010: 4.)
4.      Hubungan antara MBS dan Studi Sekolah Efektif
MBS sangat penting dilihat dari kacamata pengelolaan pendidikan (sekolah) sebagai kerangka (garis besar) manajemen, sedangkan strategi operasionalnya perlu didukung oleh model sekolah efektif, bahkan nilai-nilai manajemen mutu terpadu (Total Quality Management – TQM) perlu pula dikembangkan di sekolah. Nilai-nilai penting TQM dimaksud, antara lain peningkatan mutu secara berkelanjutan, kepuasan pelanggan dan pengguna jasa pendidikan, peningkatan mutu proses termasuk semua input yang terlibat di dalam proses pendidikan, serta kontrol kualitas berdasarkan standar yang dinamis. Asumsi-asumsi inilah, kemudian mewarnai perintisan MBS di Indonesia, yang menggunakan tema “Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)”. (2010: 4.)

Modul 5
Model Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia
Kegiatan Belajar 1
A.    Makna Manajemen Berbasis Sekolah
B.     Fungsi dan Substansi Manajemen Bebasis Sekolah
1.      Bidang Teknis Edukatif
Manajemen bidang teknis edukatif di sekolah yang sangat penting adalah aspek kurikulum dan implementasinya (pelaksanaannya) di sekolah. (2010: 5.)
2.      Bidang Ketenagaan
Fungsi-fungsi manajemen dalam urusan ketenagaan (personel function) diantaranya mencakup perencanaan kebutuhan, seleksi, pengangkatan, penempatan, pengembangan, dan pemberhentian. (2010: 5.)
3.      Bidang Keuangan
Dari kajian dan pengalaman Umaedi (2004) di negara-negara lain ditemukan beberapa istilah yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan, misalnya school based budget, resource allocation, dan school funding formula. (2010: 5.)
4.      Bidang Sarana dan Prasarana (2010: 5.)
5.      Bidang Kesiswaan
Siswa atau peserta didik merupakan komponen yang sangat penting karena menjadi muara dan seluruh upaya perbaikan komponen-komponen lainnya dalam manajemen pendidikan. (2010: 5.)
6.      Bidang Administrasi Ketatalaksanaan Sekolah
Administrasi ketatalaksanaan sekolah sebenarnya merupakan bidang yang berkaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan bidang-bidang tersebut di atas.
Keterkaitan bidang ketatalaksanaan ini dengan bidang-bidang lainnya dapat dilihat pada gambar berikut. (2010: 5.)







           
Kegiatan Belajar 2
Bangunan Manajemen Berbasis Sekolah


Text Box: MBS
 







                                                          





Keterangan:
1.      Atap Segitiga Akuntabilitas
A.     Standar Nasional/Standar Kurikulum
B.     Evaluasi Independen (oleh lembaga mandiri), dan
C.     Akreditasi Sekolah
2.      Bangunan Segi Empat MBS; Proses Pendidikan
A.     Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK),
B.     Sumber Daya Pendidikan (SDP),
C.     Komite Sekolah,
D.     MBS
3.      Daerah Lingkaran: Proses Belajar-Mengajar (PBM)
4.      Lantai Prasyarat: Pemenuhan Standar Pelayana Minimal Sekolah (P-SPM-S)
5.      Fondasi: Kebijakan Pemerintah Kabupaten/Kota dan APBD
6.      Lahan: Aspirasi Masyarakat (Dewan Pendidikan)
(2010: 5.)

1.      Bangunan Segi Empat MBS dan Daerah Lingkaran (2010: 5.)
2.      Atap Segitiga Akuntabilitas (2010: 5.)
3.      Lantai Prasyarat (SPM), Fondasi (Kebijaksanaan Pemerintah Kabupaten/Kota), dan Lahan (Aspirasi Masyarakat) (2010: 5.)

Kegiatan Belajar 3
Peran Masyarakat, Dewan Pendidikan, dan Komite Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah
1.      Peran Serta Masyarakat menurut UU No.2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas
Pada Bab XIII Undang-Undang No. 2 tahun 1989 Pasal 47, ayat (1), (2), dan (3) tentang peran serta masyarakat disebutkan sebagai berikut.
(1)   Masyarakat sebagai mitra pemerintah berkesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
(2)   Ciri khas satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan.
(3)   Syarat-syarat dan tata cara dalam penyelenggaraan pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (2010: 5.)
2.      Peran Serta Masyarakat menurut UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, peran serta masyarakat diatur meliputi lingkup yang lebih luas, yaitu mencakup peran serta sebagai perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha dan organisasi kemasyarakatan. (2010: 5.)
3.      Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 044/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah (2010: 5.)
4.      Beberapa Catatan tentang Pelaksanaan Peran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah

Modul 6
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia
Kegiatan Belajar 1
Langkah-langkah MBS
Bagi sekolah yang sudah beroperasi, Umaedi (2004) mengajukan paling tidak ada 6 langkah yang dapat dilakukan dalam implementasi MBS, yaitu:
1.      Evaluasi diri (self assessment);
2.      Perumusan visi, misi, dan tujuan;
3.      Perencanaan;
4.      Pelaksanaan;
5.      Evaluasi;
6.      Pelaporan.
(2010: 6.)

A.     Evaluasi Diri (Self Assessment)
Evaluasi diri merupakan langkah awal bagi sekolah yang ingin atau akan melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah. Kegiatan ini dimulai dengan curah pendapat (brainstorming) yang diikuti oleh kepala sekolah, guru, dan seluruh staf, serta diikuti juga anggota Komite Sekolah. Prakarsa dan pimpinan rapat adalah Kepala Sekolah. (2010: 6.)
Evaluasi atau penilaian diri (self assesment) sering disebut school review atau penilaian keadaan sekolah secara menyeluruh sebagai tindakan awal sebelum melakukan perencanaan pengembangan sekolah. (2010: 6.)
Kegiatan evaluasi diri meskipun dilakukan secara bebas dan demokratis yang diawali dengan curah pendapat, akhirnya menghasilkan rumusan tentang profil sekolah atau pemetaan keadaan sekolah dalam segala aspeknya, mulai dari komponen ketenagaan, sarana dan prasarana, pendanaan, program-program sekolah dan proses pembelajaran, prestasi (kinerja) siswa dan guru yang dicapai di dalam pelaksanaan program dan proses pembelajaran, serta ketertinggalan dan persoalan yang belum atau tidak teratasi yang dialami oleh sekolah. (2010: 6.)
B.     Perumusan visi, misi, dan tujuan
Bagi sekolah yang baru didirikan,  perumusan visi dan misi serta tujuan merupakan langkah awal yang harus dilakukan, menjelaskan ke mana arah pendidikan yang ingin dituju oleh para pendiri/penyelenggara pendidikan. (2010: 6.)
Bagi sekolah yang sudah berjalan, perumusan visi, misi, dan tujuan merupakan langkah lanjutan atau langkah kedua sebagai tindak lanjut dari kegiatan evaluasi diri terutama bagi sekolah yang belum memiliki rumusan yang jelas. (2010: 6.)
C.     Perencanaan
Perencanaan pada tingkat sekolah adalah kegiatan yang ditujukan untuk menjawab apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya untuk mewujudkan tujuan (tujuan-tujuan) yang telah ditetapkan/disepakati pada sekolah yang bersangkutan, termasuk anggaran yang diperlukan untuk membiayai kegiatan yang direncanakan. (2010: 6.)
D.    Pelaksanaan
1.      Peran Kepala Sekolah
Dalam bahasan tentang ciri-ciri sekolah efektif, salah satunya adalah kepemimpinan yang kuat (strong leadership), yaitu kepemimpinan yang mampu mengarahkan, menggerakkan, mempengaruhi, dan memotivasi staf yang dipimpinnya sehingga para pengikutnya dengan sadar dan sukarela, bahkan dengan senang hati bersedia baik secara individual maupun secara kelompok (tim) melakukan tugas-tugas organisasi tanpa harus dipaksa atau ditakut-takuti. (2010: 6.)
2.      Peran Guru dan Staf Sekolah
3.      Peran Orang Tua Siswa dan Masyarakat
4.      Peran Siswa/Murid
E.     Evaluasi
F.      Pelaporan
Pelaporan diartikan sebagai pemberian atau penyampaian informasi tertulis dan resmi kepada berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholder), mengenai aktivitas manajemen satuan pendidikan dan hasil yang dicapai dalam kurun waktu tertentu berdasarkan rencana dan aturan yang telah ditetapkan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tugas dan fungsi yang diemban oleh satuan pendidikan tersebut. (2010: 6.)

Kegiatan Belajar 2
Pelaksanaan Rintisan MBS
A.    Program MBS pada Sekolah Dasar
Sesuai kebijakan dan program yang tercantum dalam Propenas tahun 2000-2004, program MBS pada SD bersifat program rintisan dengan menekankan pada tiga komponen, yaitu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Peran Serta Masyarakat (PSM), serta Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM). Ketiganya untuk meningkatkan mutu pembelajaran. (2010: 6.)
B.     Program MBS pada SMP (Sekolah Menengah Pertama)
Penerapan MBS untuk SMP dilakukan melalui program Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah atau disingkat MPMBS. (2010: 6.)
C.     Program MBS pada SMU (Sekolah Menengah Umum)
D.    Program MBS pada SMK (Sekolah Menengah Kejuruan)
E.     Rintisan MBS melalui Program Lintas Jenjang dan Jenis Pendidikan
1.      Proyek Jaring Pengaman Sosial Beasiswa dan Dana Bantuan Operasional
Proyek ini dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi tahun 1997 dan 1998, yang berdampak melemahkan kemampuan bangsa di hamper semua aspek kehidupan. (2010: 6.)
Program ini mempunyai dua tujuan utama. Pertama, mempertahankan agar anak-anak Indonesia dapat tetap berada di sekolah dan atau melanjutkan sekolah. Kedua, mempertahankan kualitas pendidikan dasar Sembilan tahun dalam hubungannya dengan penuntasan program wajib belajar 9 tahun. (2010: 6.)
2.      Decentralized Basic Education Project (DBEP)
Pendanaan DBEP, berasal dari APBN, APBD, dan pinjaman ADB. Pendanaan ini untuk membiayai tiga komponen proyek, yaitu pengembangan sekolah (School Development), pengembangan pendidikan dasar pada tingkat pemerintah Kabupaten/Kota (District Basic Education Development), dan Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan yang independen. (2010: 6.)
3.      Program Pendidikan Kecakapan Hidup  (Broad Based Education Life-Skills/BBELS)
Bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai masalah sosial, ekonomi, budaya, dan keamanan, terutama masalah pengangguran setelah menamatkan studi, pertikaian, dan krisis moral. Bertitik tolak dari masalah tersebut maka Depdiknas mengambil kebijakan perlunya penekanan pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup (PBKH), dengan basis sumber inspirasi dan tuntutan kecakapan hidup yang dibutuhkan masyarakat yang sangat beragam dan luas. Oleh karena itu, program ini disebut pendidikan berbasis luas (broad based education). (2010: 6.)
F.      Hasil Studi, Monitoring, dan Evaluasi Implementasi MBS
Diantara studi tentang MBS adalah yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (Irawan, 2004) di DKI Jakarta. Diantara temuan studi ICW yang cukup mengagetkan, tetapi harus dipandang sebagai suatu sisi untuk meningkatkan kewaspadaan dan tidak dapat digeneralisasikan terhadap implementasi MBS adalah (1) implementasi MBS masih top down, (2) kebijakan MBS masih belum dipahami baik oleh guru maupun masyarakat, (3) biaya sekolah semakin mahal, (4) APBS tidak partisipatif, (5) korupsi di sekolah semakin merajalela. (2010: 6.)




KRITIK

Buku ini membahas pengelolaan sekolah dalam pendidikan. Kalimatnya sedikit sulit dimengerti. Membahas manajemen berbasis sekolah yang merupakan model pengelolaan pendidikan yang telah lama dilaksanakan di beberapa negara dan baru sekitar  tahun 1999 diimplementasikan secara nasional di Indonesia, bersamaan dengan perubahan sistem sentralisasi pemerintahan ke desentralisasi.





2 comments:

  1. PROGRAM PINJAMAN MUDAH
    Selama masa ekonomi yang tidak pasti ini, banyak orang mendapati diri mereka dihadapkan pada situasi di mana mereka dapat menggunakan bantuan keuangan. Apakah itu untuk keadaan darurat, perbaikan rumah, konsolidasi utang atau bahkan liburan keluarga - pinjaman pribadi berbunga rendah adalah cara yang aman dan dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan keuangan Anda. Di Alta Finance LLC, kami berspesialisasi dalam program pendanaan Pinjaman yang andal dan efisien. Hubungi kami hari ini menggunakan email perusahaan kami: altafinancellcfunding@gmail.com atau melalui teks +1 702 805-0119

    ReplyDelete
  2. Kenapa harus iklan gereja di bom😂

    ReplyDelete

Comments system

Disqus Shortname